melihat Bu Via: jika rambut di tempat yang terbuka saja
subur, apalagi rambut di tempat yang tersembunyi. Dan
ternyata aku bisa membuktikan gurauan itu. Ternyata
rambut di tempat itu memang luar biasa. Bahkan aku yang
semula berpikir rambut yang menghiasai vagina Kiki luar
biasa karena subur dan indah, kemudian menerima
kenyataan bahwa ada yang lebih indah, yaitu milik Bu Via
ini. Dari samping keadaan itu seperti taman gantung Raja
Nebukadnezar saja :) .
Segera berkelebat pikiran dalam otakku, betapa
menyenangkannya tersesat di hutan teduh dan indah itu.
Maka aku segera menenggelamkan diri di tempat itu, di
hutan itu. Lidahku segera menyusuri taman indah itu dan
kemudian melanjutkannya pada sumur di bawahnya. Maka Bu
Via menjerit kecil ketika lidahku menancap di lubang
sumur itu. Di lubang vaginanya. Bau khas vagina yang
keluar dari lubang itu semakin melambungkan gairahku.
Dan jeritan kecil itu kemudian di susul jeritan dan
erangan patah-patah yang terus menerus serta
gerakan-gerakan serupa cacing kepanasan. Dan kurasa ia
memang kepanasan oleh gairah yang membakarnya.
Aku menikmati jeritan itu sebagai sensasi lain yang
membuatku semakin bergairah pula menguras kenikmatan di
lubang sumur vaginanya. Lendir hangat khas yang keluar
dari dinding vaginanya terasa hangat pula di lidahku.
Kadang-kadang kutancapkan pula lidahku di tonjolan kecil
di atas lubang vaginanya. Di klitorisnya. Maka semakin
santerlah erangan-erangan Bu Via yang mengikuti
gerakan-gerakan menggelinjang. Demikian kulakukan hal
itu sekian lama.
Kemudian pada suatu saat ia berusaha membebaskan
vaginanya dari sergapan mulutku. Ia menarik sebuah
bangku rias kecil yang tadi menjadi ganjal kakinya untuk
mengangkang. Aku dimintanya duduk di bangku itu. Begitu
aku duduk, ia kembali memagut penisku dengan mulutnya
secara lembut. Tapi itu tidak lama, karena ia kemudian
memegang penisku yang sudah tidak sabar mencari
pasangannya itu.
Bu Via membimbing daging kenyal yang melonjor tegang dan
keras itu masuk ke dalam vaginanya dan ia duduk di atas
pangkuanku. Maka begitu penisku amblas ke dalam
vaginanya, terdengar jeritan kecil yang menandai
kenikmatan yang ia dapatkan. Aku juga merasakan
kehangatan mengalir mulai ujung penisku dan mengalir ke
setiap aliran darah. Ia memegangi pundakku dan
menggerakkan pinggulnya yang indah dengan gerakan serupa
spiral. Naik turun dan memutar dengan pelan tapi
bertenaga.
Suara gesekan pemukaan penisku dengan selaput lendir
vaginanya menimbulkan suara kerenyit-kerenyit yang indah
sehingga menimbukan sensasi tambahan ke otakku. Demikian
juga dengan gesekan rambut kemaluannya yang lebat dengan
rambut kemaluanku yang juga lebat. Suara-suara erangan
dan desahan napasnya yang terpatah-patah, suara gesekan
penis dan selaput lendir vaginanya serta suara gesekan
rambut kemaluan kami berbaur dengan suara lagu mistis
Sarah Brightman dari CD yang diputarnya.
Barangkali ia memang sengaja ingin mengiringi permainan
cinta kami dengan lagu-lagu seperti itu. Ia tahu aku
menyukai musik demikian. Dan memang terasa luar biasa
indah, pada suasana seperti itu. Apalagi lampu di kamar
itu juga remang-remang setelah Bu Via tadi mematikan
lampu yang terang. Dengan suasana seperti itu, rasanya
aku tidak ingin membiarkan setiap hal yang menimbulkan
kenikmatan menjadi sia-sia. Maka aku tidak membiarkan
payudaranya yang ikut bergerak sesuai dengan gerakan
tubuhnya menggodaku begitu saja. Kulahap buah dadanya
itu. Semakin lengkaplah jeritannya.
Matanya yang terpejam kadang-kadang terbuka dan tampak
sorot mata yang aku hapal seperti sorot yang keluar dari
mata Kiki saat bercinta denganku. Sorot matanya seperti
itu. Sorot mata nikmat yang membungkus perasaannya.
Sekian lama kemudian ia menjerit panjang sambil
meracau..
“Ah.. Aku.. Aku orgasme, Rud!”
Sesaat ia terdiam sambil menengadahkan wajahnya ke atas,
tapi matanya masih terpejam. Kemudian ia melanjutkan
gerakannya. Barangkali ia ingin mengulanginya dan aku
tidak keberatan karena aku sama sekali belum merasakan
akan sampai ke puncak kenikmatan itu. Sebisa mungkin aku
juga menggoyangkan pinggulku agar dia merasakan
kenikmatan yang maksimal. Jika tanganku tidak aktif di
buah dadanya, kususupkan di selangkangannya dan mencari
daging kecil di atas lubang vaginanya, yang dipenuhi
oleh penisku.
Meskipun Bu via seorang janda dan sudah punya anak, aku
merasa lubang vaginanya, seperti seorang ABG saja. Tetap
rapat dan singset. Otot vaginanya seakan mencengkeram
dengan kuat otot penisku. Maka gerakan pinggulnya untuk
menaik turunkan bukit venus vaginanya menimbulkan
kenikmatan yang luar biasa. Dan sejauh ini aku tidak
merasakan tanda-tanda lahar panasku akan meledak.
Bu Via memang luar biasa, ia seperti tahu menjaga tempo
permainannya agar aku bisa mengikuti caranya bermain. Ia
seperti tahu menjaga tempo agar aku tidak cepat-cepat
meledak. Memang sama sekali tidak ada gerakan liar. Yang
dilakukannya adalah gerakan-gerakan lembut, tapi justru
menimbulkan kenikmatan yang luar biasa, terutama karena
aku jarang bercinta dengan perempuan lembut seperti itu.
Sekian lama kemudian aku mendengar lagi ia meracau..
“Ah.. Ah.. Ini yang kedua.. Rud, aku orgasme.. Uhh!” Di
susul jeritan panjang melepas kenikmatan itu.
Tapi kemudian ia memintaku mengangkatnya ke ranjang,
tanpa melepaskan penisku yang masih menancap di lubang
vaginanya. Ia memintaku menidurkannya di ranjang tapi
tak ingin melepaskan vaginanya dari penisku, yang sejauh
ini seperti mendekap sangat erat. Kulakukan pemintaannya
itu. Maka begitu ia telentang di ranjang, aku masih ada
di atasnya. Penisku pun masih masuk penuh di dalam
vaginanya.
Kami melanjutkan permainan cinta yang lembut tapi panas
itu. Kini aku berada di atas, maka aku lebih bebas
bermanuver. Maka dengan gerakan seperti yang sering
kulakukan jika aku berhubungan seks dengan Kiki, cepat
dan bertenaga, kulakukan juga hal itu pada Bu Via. Tapi
sesaat kemudian ia berbisik dengan mata yang masih
terpejam..
“Pelan-pelan saja, Rud. Aku masih ingin orgasme”.
Aku tersadar apa yang telah kulakukan. Maka kini
gerakanku pelan dan lembut seperti permintaan Bu Via.
Kini erangan dan desahan patah-patahnya kembali
terdengar. Ia menarik punggungku agar aku lebih dekat ke
badannya. Aku maklum. Tentu ia ingin mendapatkan
kenikmatan yang maksimal dari gesekan-gesekan bagian
tubuh kami yang lain. Dan Bu Via memang benar, begitu
dadaku bergesekan dengan buah dadanya, semakin besarlah
sensasi kenikmatan yang kudapat. Kurasa demikian juga
dengannya, karena jeritannya berubah semakin santer.
Apalagi saat aku juga melumat bibir merahnya yang
menganga, seperti bibir vaginanya sebelum aku menusukkan
penisku di situ. Meskipun jeritannya agak bekurang
karena kini mulutnya sibuk saling melumat bersama
mulutku, tapi aku semakin sering mendengar ia mengerang
dan terengah-engah kenikmatan. Hingga beberapa saat
kemudian aku mendengar ia meracau seperti sebelumnya..
“Aku.. Ah.. Aku.. Uh.. Yang ketiga.. Aku orgasme, Rud..
Ahh”
Setelah jeritan panjang itu, matanya terbuka. Tampak
sorot matanya puas dan gembira. Kemudian ia berbisik
terengah-engah..
“Aku.. Aku.. Sudah cukup, Rud. Saatnya untuk kamu”.
Aku tahu yang dia maksudkan, maka kemudian pelan-pelan
semakin kugenjot gerakanku dan semakin bertenaga pula.
Ia kini membiarkanku melakukan itu. Kurasa Bu Via memang
sudah puas mendapatkan orgasme sampai tiga kali. Sekian
lama kemudian kurasakan lahar panasku ingin meledak.
Penisku berdenyut-denyut enak, menandai bahwa sebentar
lagi akan ada ledakan dahsyat yang akan melambungkanku
ke awang-awang. Maka aku berusaha menarik penisku dari
lubang vaginanya yang nikmat itu. Tapi Bu Via menahan
penisku dengan tangan lembutnya.
“Biarkan.. Biarkan.. Saja di vaginaku, Rud.. Aku ingin
merasakan sensasi cairan hangat itu.. Di vaginaku..
Uhh.. Uhh”.
Maka ketika lahar panas dari penisku benar-benar
meledak, kubiarkan ia mengendap di sumur vagina milik Bu
Via, dengan diiringi teriakan nikmatku.
Setelah itu, Bu Via memintaku untuk tetap berada di atas
tubuhnya barang sesaat. Dengan lembut ia menciumi
bibirku dan tangannya mengusap-usap puting susuku. Aku
juga melakukan hal yang sama dengan mengusap-usap buah
dadanya yang saat itu basah karena keringat. Dan memang
sensasi yang kurasakan luar biasa.
Cooling down yang diinginkan Bu Via itu membuatku merasa
seakan-akan aku sudah sangat dekat dengan Bu Via. Aku
merasa ia seperti kekasihku yang sudah sering dan sangat
lama bermain cinta bersama. Aku merasa sangat dekat.
Maka begitu aku merasa sudah cukup, aku menarik penisku
yang sebenarnya masih sedikit tegang dari lubang
vaginanya. Tampak air muka Bu Via sedikit kacau.
Wajahnya berkeringat dan anak rambutnya satu dua
menempel di dahinya. Kami kemudian pergi ke kamar mandi
pribadinya di kamar itu. Kamar mandinya juga wangi.
Sambil bergurau, aku menggodanya..
“Ibu.. Justru kelihatan cantik setelah bercinta”. Ia
hanya tertawa mendengar gurauanku.
“Memang setelah bercinta denganmu tadi, seluruh
pori-poriku seperti terbuka. Aku sedikit capai tapi
merasa segar”, jawabnya dengan berbinar-binar.
Ia tampaknya memang puas dengan permainan cinta kami. Di
bawah shower, kami membersihkan diri dengan mandi
bersama-sama. Kadang-kadang kami saling membersihkan
satu sama lain. Ia membersihkan penisku dengan sabun dan
aku membersihkan sekitar vaginanya juga. Ia tertawa geli
saat aku dengan halus mengusap-usap vaginanya dan rambut
kemaluannya yang lebat itu.
Source
No comments:
Post a Comment